Banyak Anak Banyak Rejeki


Banyak anak banyak rezeki, sebuah filosofi hidup orang-orang tempoe doeloe yang aku rasa sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah pola pikir yang sangat meyakini kebenaran akan janji Tuhan yang menjamin rezeki setiap makhluk ciptaan-Nya, bahkan hewan sekalipun. Cicak yang sama sekali tidak bisa terbang misalnya, bisa memangsa nyamuk yang memiliki sayap dan bisa terbang dengan bebasnya. Seekor burung yang keluar dari sarangnya pada pagi hari dalam keadaan perut yang kosong, kembali ke sarangnya pada petang hari dalam keadaan perut yang sudah terisi penuh, atau pun semut yang bisa menemukan dimana tempat yang terdapat remahan makanan atau pun gula. Masih banyak lagi contoh nyata di alam sekitar kita yang menjadi bukti bahwa benar Tuhan itu memang menjamin rezeki setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Jika hewan saja demikian telitinya Dia berikan rezekinya, lantas bagaimana lagi dengan manusia. Al Imam Hasan Al Bashri suatu hari pernah berkata, “Aku telah membaca di sembilan puluh tempat (90 kali disebutkan) di dalam al Quran, bahwa sesungguhnya Allah telah menetapkan (mentaqdirkan) rezki dan menjamin (menggaransi) rezki itu untuk makhlukNya, dan aku membaca (hanya) pada satu tempat “ syeitan menakut-nakutimu akan kefakiran” , lantas, (apakah layak) kita ragu terhadap perkataan yang maha benar di sembilan puluh tempat, sementara kita mempercayai perkataan pembohong (hanya) di satu tempat?. Apakah setelah ini, kita masih ragu terhadap rezki kita yang telah ditetapkan Allah untuk kita?”. 
Cek DISINI untuk lebih lengkapnya.

Mungkin filosofi itu jugalah yang dianut oleh keluarga kakek dan nenekku baik dari garis keturunan ibu ataupun ayah. Ayah dan ibuku sama-sama berasal dari keluarga besar. Ayah merupakan anak kelima dari tujuh orang bersaudara, sementara ibuku anak ketujuh dari delapan bersaudara. Jadi ketika ada acara kumpul keluarga di hari lebaran ataupun pada beberapa kesempatan yang lainnya, maka bisa kalian bayangkan betapa ramainya rumah dimana tempat acara kumpul keluarga itu berlangsung. Sampai-sampai dahulu ketika lebaran tiba, untuk membuat minuman buat semua keluarga yang hadir, terpaksa harus dibeli es batu berbentuk balok yang besar itu saking banyaknya anggota keluarga yang harus diberi minum, dan makanan yang dimasak pun harus menggunakan wajan yang sangat besar seperti di acara pernikahan-pernikahan itu.

Dalam konstelasi “percucuan”, aku merupakan cucu ke-26 dari 26 orang cucu yang dimiliki kakek dari garis keturunan ibu, sementara dari garis keturunan ayah, aku tidak tahu persis menduduki urutan keberapa, tapi yang pasti bukan urutan terakhir. Karena urutanku yang paling buncit itulah, di dalam keluarga ibu, baik oleh paman, bibi, ataupun sepupu-sepupuku yang lain, aku kerap dipanggil dengan sebutan odek/adek. Bahkan sampai sekarang pun, sampai aku sudah sebesar ini, sebutan itu kerap masih terdengar ketika berjumpa dengan mereka. Ada kemungkinan, dan kurasa kemungkinan itu sangat besar, kelak ketika sudah tua nanti pun aku akan tetap dipanggil adek oleh sepupu-sepupuku yang lain. Dan satu hal lagi kawan, tidak tahu apakah ini merupakan suatu prestasi ataukah keistimewaan, aku tidak tahu mau menyebutnya apa, sampai tulisan ini dibuat, Kamis 10 Desember 2015 pukul 11.13 pm, diantara ke-26 cucu tersebut, hanya tinggal aku yang belum menikah dan belum mempunyai momongan, hahaha...(sambil meneteskan air mata).

Namun, hal yang sebaliknya terjadi di keluargaku sendiri. Banyaknya anak kakek dan nenekku tidak serta merta menginspirasi kedua orangtuaku untuk juga memiliki banyak anak. Mungkin dahulu orangtuaku terpengaruh rayuan maut salah satu program Israel yang masuk ke negeri ini yang berkaitan dengan menekan pertumbuhan penduduk suatu negara yang bernama KaBe, alias keluarga berencana. Kenapa aku katakan program Israel?, panjang ceritanya kawan, tidak mungkin aku jelaskan panjang lebar di sini, lebih baik kalian langsung tanya sama mbah google untuk lebih lengkapnya. Tapi intinya, aku sangat tidak setuju dengan program pemerintah yang satu ini, jika yang menjadi alasan adalah ketakutan kita akan rezeki dan penghidupan anak keturunan kita yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan apa-apa yang aku sampaikan pada bagian pendahuluan tulisan ini. Namun jika yang menjadi alasan adalah benar-benar murni untuk perencanaan kelahiran atau alasan yang bersifat medis dan lain sebagainya, aku rasa tidak masalah. Mungkin sebagian dari kalian ada yang tidak setuju dengan pemikiranku ini. It’s oke, namanya juga pemikiran, setiap orang pasti punya pendapat mereka masing-masing berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut. Tapi aku harap, hal ini tidak membuat kalian berhenti untuk terus membaca tulisan-tulisanku di blog ini, hehe…

Singkat cerita, ayah dan ibuku hanya memiliki dua orang anak, aku sebagai anak paling bungsu, dan kakak perempuanku yang berbeda usia lebih kurang tiga tahun denganku. Ayah dan ibuku benar-benar secara tepat mengamalkan slogan program keluarga berencana tersebut yang berbunyi, “dua anak lebih baik”. Walapun sekarang slogan tersebut sudah mengalami perubahan dengan adanya penambahkan tanda koma setelah kata “lebih” pada kalimatnya, sehingga memiliki makna yang sangat-sangat jauh berbeda, “dua anak lebih, baikkk…”,hehe.

Kunjungi juga:

Comments